Kamis, 20 Mei 2010

soa II

Tips Menuju Sukses : Berpikiran Positif
02-06-2008 / 12:46:24

Lalu, sekarang dan masa depan kita dapat tercermin dari bagaimana sikap kita sehari-hari


Percaya atau tidak, sikap kita adalah cermin masa lampau kita, pembicara kita di masa sekarang dan merupakan peramal bagi masa depan kita. Maksudnya apa ? Ya, bahwa kondisi masa lalu, sekarang dan masa depan kita dapat tercermin dari bagaimana sikap kita sehari-hari. Camkan satu hal, sikap kita merupakan sahabat yang paling setia, namun juga bisa menjadi musuh yang paling berbahaya.

Bagaimana sikap mental kita adalah sebuah pilihan; positif ataukah negatif.

W.W. Ziege pernah berkata.”Tak akan ada yang dapat menghentikan orang yang bermental positif untuk mencapai tujuannya. Sebaliknya, tak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat membantu seorang yang sudah bermental negatif.

Jika kita seorang yang berpikiran positif, kita pasti mampu menghasilkan sesuatu. Kita akan lebih banyak berkreasi daripada bereaksi. Jelasnya, kita lebih berkonsentrasi untuk berjuang mencapai tujuan-tujuan yang positif daripada terus saja memikirkan hal-hal negatif yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kehidupan dan kebahagiaan seseorang tidaklah bisa diukur dengan ukuran gelar kesarjanaan, kedudukan maupun latar belakang keluarga. Yang dilihat adalah bagaimana cara berpikir orang itu. Memang kesuksesan kita lebih banyak dipengaruhi oleh cara kita berpikir.

Ingat perkataan Robert J. Hasting, “Tempat dan keadaan tidak menjamin kebahagiaan. Kita sendirilah yang harus memutuskan apakah kita ingin bahagia atau tidak. Dan begitu kita mengambil keputusan, maka kebahagiaan itu akan datang”.

Dengan bersikap positif bukan berarti telah menjamin tercapainya suatu keberhasilan. Namun, bila sikap kita positif, setidak-tidaknya kita sudah berada di jalan menuju keberhasilan. Berhasil atau tidaknya kita nantinya ditentukan oleh apa yang kita lakukan di sepanjang jalan yang kita lalui tersebut.

Dari beberapa buku yang saya baca beberapa tips berikut terbukti cukup membantu. Cobalah untuk menjalankan kegiatan-kegiatan berikut ini sebanyak mungkin dalam hidup kita. Sebagaimana untuk mencapai hal-hal lainnya, untuk menjadi seorang yang berpikiran positif, prosesnya harus dilakukan secara terus-menerus :

1. Pilihlah sebuah kutipan yang bernada positif setiap minggunya dan tulislah kutipan tadi pada selembar kartu berukuran 3 x 5. bawalah kartu tadi setiap hari selama seminggu. Baca dan camkanlah kutipan tadi secara berkala dalam sehari dan jadikan afirmasi, misalnya di meja kerja Anda, di dashboard mobil, atau di cermin kamar mandi. Jadikanlah setiap kutipan tersebut bagian pemikiran Anda selama seminggu itu.

Contoh :
“Seorang pemimpin yang baik adalah yang bisa membesarkan semangat dan harapan-harapan kepada anak buahnya.” (Napoleon Bonaparte). “Hari ini saya ingin menolong orang sebanyak mungkin” (Harry Bullis)

2. Pilihlah seseorang yang dalam hidup Anda yang Anda anggap berpikiran negatif. Cobalah cari hal-hal yang positif dalam diri orang itu dan ubahlah pikiran-pikiran negatif Anda mengenai orang tersebut dengan hal-hal positif tadi. Sebagai orang beragama, tolong doakan pula orang tersebut dengan hal-hal positif tadi dan mohonlah agar Tuhan menolongnya.

3. Pilih satu hari istimewa dalam seminggu dan jadikanlah hari itu sebagai “hari 10″. Bangunlah pada pagi hari dan yakinlah bahwa setiap orang yang akan Anda temui bernilai “10″, dan perlakukanlah mereka secara demikian. Anda pasti akan heran sendiri melihat tanggapan yang akan Anda peroleh dari orang-orang yang selama ini Anda anggap remeh.

4. Tandai suatu hari dalam seminggu sebagai “hari berpikiran positif.” Hapuslah kata-kata “tidak dapat,” “tidak pernah,” atau kata-kata lain yang senada, usahakan agar Anda menemukan cara untuk mengatakan apa yang bisa Anda lakukan.

5. Paling tidak sekali dalam seminggu, carilah suatu kesempatan untuk bisa memberi kepada orang lain dengan tulus. Lakukanlah suatu yang khusus pada suami/istri ataupun anak-anak Anda. Berbuatlah suatu kebaikan pada seseorang yang belum Anda kenal.

Siapa yang ingin sukses ?

Kuncinya jangan pernah sekali-kali berpikiran negatif !
Buang jauh-jauh hal-hal negatif; juga kalimat-kalimat negatif dari pikiran Anda !

Jangan pernah ada lagi kalimat-kalimat seperti :

“Pasti gagal;
Kami belum pernah melakukannya;
Kami tak sanggup melakukannya;
Saya belum siap melakukannya;
Itu bukan tanggung jawab kami; dan sebagainya”.

Selamat mencoba, dan ………………………………………….
SEMOGA sukses senantiasa bersama kita yang selalu berusaha maksimal
menggapainya.

doa

Syarat Terkabulnya Doa

blogger
Bookmark and Share
49Bagikan

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين, وصلاة والسلام على أشرف المرسلين. أما بعد :

Syarat Terkabulnya DoaSeorang hamba ketika berdoa kepada Robbnya menunjukkan bahwa dia sangat membutuhkan akan apa yang dia minta. tidak seorangpun yang berdoa, berharap doanya tidak dikabulkan, akan tetapi, semua berharap bahwa doa-doanya tersebut akan dikabulkan.

Dengan memperhatikan adab-adab dalam berdoa agar doa seorang hamba dikabulkan oleh Allah. sekiranya memperhatikan beberapa hal berikut ini :

1. Tidak mengatakan "Aku Telah Berdoa, Tapi Belum Juga Dikabulkan".

Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda :

لَا يَزَال يُسْتَجَاب لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَة رَحِم ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِل ، قِيلَ : يَا رَسُول اللَّه مَا الِاسْتِعْجَال ؟ قَالَ : يَقُول : دَعَوْت فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيب لِي ، فَيَسْتَحْسِر عِنْد ذَلِكَ ، وَيَدَع الدُّعَاء

Artinya : "Doa seorang hamba akan tetap dikabulkan selama tidak berdoa untuk hal yang dilarang (berdosa) atau untuk memutus tali silaturahmi. dan selama tidak terburu-buru. dikatakan : wahai Rosulullah, apa yang dimaksud terburu-buru (dalam doa)? berliau menjawab : yaitu perkataan : aku telah berdoa akan tetapi aku tidak melihat akan dikabulkan. maka dia akan merasa letih kemudian akan meninggalkan doa." (HR Muslim)

Dan dalam riwayat lain, Beliau bersabda :

يُسْتَجَاب لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَل ، فَيَقُول : قَدْ دَعَوْت فَلَا - أَوْ فَلَمْ - يَسْتَجِبْ لِي

Artinya : "Akan dikabulkan doa salah seorang diantara kalian selama tidak terburu-buru. maka berkata : aku telah berdoa akan tetapi aku tidak atau belum akan dikabulkan untukku." (HR Muslim, Bukhori, Tirmidzi)

2. Tidak berdoa untuk sesuatu yang berdosa.

Pada hadist pertama dijelaskan bahwa Allah akan senantiasa menjawab permintaan hamba-Nya selama tidak berdoa untuk hal-hal yang buruk, seperti mendoakan kejelekan untuk orang yang tidak bersalah.

3. Tidak berdoa untuk memutus tali silaturahmi.

Jika diantara kita ada yang berselisih dengan salah satu saudara kita, maka sebaiknya untuk segera menyelesaikan dengan cara yang baik. dan tidak berdoa agar jauh dari saudaranya. karena itu akan menjadikannya memutus tali silaturahmi diantara kita sebagaimana yang disebutkan dalam hadist pertama.

4. Selalu berdoa dan tidak putus asa.

Allah berfirman :

وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ

Artinya : "Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih." (QS Al-Anbiya' : 19)

5. Yakin sepenuhnya kepada Allah.

Senantiasa yakin akan Allah, menerima setiap keputusan-Nya baik itu baik ataupun buruk. yakin bahwa Allah tidak akan memperlakukan kita kecuali untuk kebaikan kita. dibalik setiap musibah pastilah ada hikmah jika kita merenunginya.

Senin, 10 Mei 2010

khusu dalam sholat

KHUSYUK DALAM SOLAT

Laman Utama > Galeri > Galeri Islam > Artikel Islam > Khusyuk Dalam Solat
IMAM AL-GHAZALI menyatakan bahawa orang yang tidak khusyuk sembahyangnya adalah dikira sia-sia belaka, kerana tujuan solat itu selain untuk mengingati Allah SWT, ia juga berfungsi sebagai alat pencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Apabila lalai ketika menunaikan solat bererti orang tersebut tidak akan berasa gerun ketika melakukan perkara keji dan mungkar.
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
Solat yang khusyuk ialah mereka yang sentiasa sedar dan mengikuti segala pengertian dari setiap kalimah yang di ucapkan di dalam solatnya. Justeru itu apabila ia membaca Fatihah, hatinya akan mengikuti dan memahami makna setiap kalimah yang terucap. Misalnya apabila mereka membaca ayat keempat dari Surah Al-Fatihah yang bermaksud:

"Tuhan yang memiliki hari Akhirat."
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
Maka tergambar segala kalut sibuk dan huru-hara manusia serta bersesak di padang Masyhar, ia akan terasa diri semakin kerdil dan lemah disisi Allah SWT.

Apabila membaca ayat kelima dari surah Al-Fatihah yang bermaksud :

"Engkaulah yang kusembah dan Engkaulah tempatku bermohon."

Bererti mereka telah memberikan kesetiaan dan pengabdian hanya kepada Allah, bukannya menjadi penyembah hawa nafsu atau yang lain-lainnya. Akhirnya mereka tidak ada keinginan untuk melakukan perkara keji dan mungkar, kerana melakukan perbuatan keji bererti mereka telah menjadi hamba nafsu, yang demikian adalah bercanggah dengan ucapannya yang mengaku bahawa dia hanya menyembah Allah SWT semata-mata.
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
Selepas itu mengamati lain-lain bacaan dalam sembahyang dengan khusyuk, yang mengandungi berbagai bacaan dan doa-doa yang memperlihatkan kebesaran Tuhan. Jika difahami sungguh-sungguh cukuplah kesemua itu akan menghakis sikap-sikap hodoh yang ada pada diri manusia itu.

Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud :
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
"Berapa banyak orang yang mendirikan solat, tetapi yang di perolehi hanya penat dan letih, kerana mereka itu lalai dalam sembahyangnya. "

Hadis tersebut menggambarkan betapa banyak sembahyang yang didirikan oleh seseorang itu, tetapi malangnya ia tidak memperolehi pahala melalui sembahyang itu.
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
Firman Allah yang bermaksud :

"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang solat, (iaitu) orang-orang yang lalai dari solatnya." [Surah al-Ma'un : ayat 4-5]

Nabi s.a.w bersabda lagi yang bermaksud :
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
"Tidak ada habuan bagi seseorang hamba dalam sembahyangnya kecuali sekadar mana yang ia ingat."

Hadis tersebut menjelaskan bahawa solat seseorang yang dalam keadaan lalai, sesungguhnya tidak mempunyai sebarang nilai kebaikan di sisi Allah SWT. Malah solatnya itu akan sekadar menjadi kayu pengukur, jika seseorang ingin tahu sekadar mana pahala yang di perolehi dan sebanyak mana pula yang kosong, maka selepas solat cubalah adakan muhasabah, sebanyak manakah masa yang dia berada dalam keadaan khusyuk, iaitu ingat segala perbuatan dan ucapan mereka dalam sembahyang itu, atau sebanyakmana pula yang lalai. Kalau banyak masa lalai maka setakat baki yang sedikit itu tidak payahlah untuk menunggu akhirat bagi melihat pahala
solat itu, sebaliknya didunia ini pun kita sudah boleh mengagak apa yang kita perolehi dari solat yang tidak khusyuk itu.
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
Sesungguhnya solat itu tidak sama dengan ibadah yang lain.Jika dibandingkan dengan ibadah puasa, memang dalam ibadah puasa tidak ada khusyuk, tetapi puasa yang memenuhi segala syarat akan kelihatan kesannya dari puasanya itu. Disebabkan menahan lapar dan dahaga bukan sahaja mereka akan kelihatan letih dan kurang bermaya, tetapi juga mereka kelihatan sebagai seorang yang tinggi pekertinya, senantiasa menjaga perkara yang boleh membatalkan puasa dan juga pahala puasa seperti menjaga lidahnya dari mengumpat dan mengeluarkan kata-kata yang tidak berfaedah.
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
Begitu juga zakat, walaupun ketika melakukan ibadah zakat itu tidak disertai dengan khusyuk namun maksud kepada penunaian zakat itu kelihatan juga. Menunaikan zakat dapat menghakis sifat bakhil seseorang. Orang-orang yang dikuasai oleh sifat bakhil tidak mungkin mampu menunaikan zakat.
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
Demikian juga dengan ibadah haji, walaupun ketika melakukan ibadah haji seseorang itu dalam keadaan lalai kerana ibadah haji melibatkan dua perkara iaitu tubuh badan dan harta benda. Sama ada menunaikan haji itu dalam keadaan lalai dan sebagainya, namun kesannya dari ibadah haji itu jelas ketara, kerana ia terpaksa membelanjakan wang beribu-ribu ringgit. Tubuh badan terasa letih dan wang ringgit habis.
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
Sebaliknya ibadah solat ini amat berbeza sekali dengan semua ibadah yang dinyatakan itu. Menurut Imam al-Ghazali bahawa solat itu merupakan "munajat" (berdialog dan berbisik) seorang hamba terhadap Tuhannya. Apabila solat itu sebagai munajat sudah tentu dilakukan dengan penuh kesedaran di samping khusyuk dan tawadhuk. Bagaimana mungkin seorang yang lalai boleh berbisik atau berdialog dengan Allah SWT.

Orang yang mengerjakan solat dalam keadaan lalai sama keadaannya orang yang mengigau ketika tidur, walaupun mungkin ia menyebut Allahu Akbar dan juga lain-lain kalimah yang memuji keagungan Allah SWT, seperti bertasbih mensucikan Allah, bertahmid memuji Allah namun semua itu tidak termasuk lansung dalam pengertian munajat kepada Allah kerana sebenarnya orang itu sedang mengigau. Sesungguhnya orang mengigau itu adalah orang yang bertutur di luar kesedaran.

Khusyuk menjadi syarat sama ada solat seseorang itu akan diterima oleh Allah SWT. Jika khusyuk tidak wujud dalam diri orang yang menunaikan solat, maka ruang kosong itu pasti terisi dengan sifat lalai. Orang yang lalai tidak akan merasai keagungan Allah SWT, sekalipun lidahnya mengucapkan kalimah-kalimah yang mengandungi segala puji-pujian terhadap Allah.
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
Segala puji-pujian yang ditujukan kepada Allah SWT bukan saja melalui ucapan lisan, tetapi juga dengan bahasa hati. Apabila hati lalai ia
akan menjadi hijab yang menghalang seseorang itu untuk menghampiri Alah, meskipun Allah SWT menyatakan bahawa ia lebih hampir daripada saraf dan urat seseorang.

Firman Allah Taala yang berbunyi:
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
"Ketahuilah dengan menyebut nama Allah itu dapat menenangkan hati." [Surah Ar-Ra'adu : ayat 28]

Dan ketahuilah, solat adalah ibadah utama yang akan dihisab terlebih dahulu di akhirat oleh Allah SWT, berbanding dengan amalan-amalan yang lain. Sekiranya solat seseorang itu dalam keadaan sempurna, maka barulah dihitung pula amalan yang lain.
Copy/Paste Dari: www.familiazam.com
Wallahu ta'ala a'lam.......

Minggu, 09 Mei 2010

sholat II

SHALAT                                             (2/2)

Oleh Nurcholish Madjid

Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat juga
mengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benar
juga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagai
proses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakan
metafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengan
sendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalam
sistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergerak
secara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidak
diterima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeri
atau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena ia
toh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkan
negeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luas
ini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kita
kerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuk
tidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasi
yang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karena
merasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandung
makna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, dan
itu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatu
kesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akan
menyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanya
kita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.
Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satu
dari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak,
sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang final
itu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Dan
manapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa paham
Tauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final
(al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatu
apa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yang
semisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengan
sesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkin
terjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalam
Kitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhan
selain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia;
Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidak
menangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalah
Maha Lembut, Maha Teliti." [21]

Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah,
yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinya
menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kita
panjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan
yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan
syahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan
permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagai
kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah")
kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalat
kita.

MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)

Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya
sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri,
khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan
berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui
tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut
bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai
sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri.

Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangat
logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga.
Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan
menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka
tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak
pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada
dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu
merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam
kata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan
keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi
pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah
makna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidak
menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"
akan sia-sia belaka.

Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak
dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada
engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dan
keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung
(pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian
kerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa
salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah
bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat
jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari
kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui
shalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai hal
yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan
yang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian
yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang
lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama?
Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas
menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka
celakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalat
mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalat
seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan
sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh
santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan
nasib orang miskin.

Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi
luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan
salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa
untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,
baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan
sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan
begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan
Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan
sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak
menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan
menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat
palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu.

Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf
menguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentuk
ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan
manusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang Maha
Agung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmah
rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia
yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satu
menyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.
Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebih
hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena
manusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini maka
diadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karena
itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalam
pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.

Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dan
keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan.
Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut
ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentuk
manusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkan
sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata.

Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajiban
yang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allah
memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninya
saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak
dan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, dengan
menghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasil
tujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kita
dengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yang
kotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnya
manusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, ia
banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyak
mencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]
Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalani
shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan
tertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmah
rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia
berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatan
budi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yang
shalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu mereka
yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]
Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena mereka
mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai
lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa
yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha
Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya,
dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dan
keluhuran kebaikan-Nya.

Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama,
pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat
dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan atau
persetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaitu
perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa
memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta
faedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yang
sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.
Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguh
amat disayangkan! [27]

Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agama
dari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat.
Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam
tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:

Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya
Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,
tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang shalat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28]

Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk
neraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yang
menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup
ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab
sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan
tanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup
egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,
juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun
lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari
pembalasan (akhirat).

Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selain
menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita--
ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah
ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya
masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan
melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh
warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham
mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat,
sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras
kepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang
kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan
komitmen sosial yang meluas.

sholat

V.30. SHALAT                                             (1/2)

Oleh Nurcholish Madjid

Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan Hadits
Nabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban
peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem
keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita
menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya
dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan
kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang
dilakukan dengan penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi
saw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan
tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka
rusak pulalah seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi,
"Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada
Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya
ialah perjuangan di jalan Allah." [3]

Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang
pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber
agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik
mungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau
sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam
shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup
kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh
pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai
hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai
tujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagai
sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.

Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)

Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,
dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur
bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat
dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya
dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang
dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim
(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan
runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama
Islam." [4]

Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat
al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan",
yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang
tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap
Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal
seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a
'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua
bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas -
"hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan
dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan
hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika
disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah
agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik
terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan
takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap
menghadap Allah.

Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan
dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan
yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada
Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara
hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi
muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu),
dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma
baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam
raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan
aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]

Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan
hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan
melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir
pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyang
dipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),
karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal
sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan,
perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]

Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya
menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang
makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh
keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia
menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu
sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya";
dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi
sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan
makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga
sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi
dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di
Sidrat al-Muntaha.

Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah
satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan
diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan
dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:
"Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan
Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]

Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara
hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya
akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah
kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka
sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk
mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti
kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga
berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup
di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari
Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11] Maka dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah
"Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan
"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).

Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu
akan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekerti
sedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allah
dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupun
logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu
yang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialah
yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang
asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani,
bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan
pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia
menuju kebenaran (hanif).

Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya
baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalu
mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya
dengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampak
padanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs,
kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagai
akibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena
itu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut
mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu
sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari
dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca surat
al-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadat
itu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayati
benar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkan
jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itu
setelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatan
dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah),
diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya
sebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang Maha
Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha
Penyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim).
Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagai
Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdiri
mutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim,
dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghamba
kecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanya
kepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadari
bahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk
menemukan kebenaran.

Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan diri
kecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanya
kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan
oleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusaha
mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arah
jalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa
kita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatu
apapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasan
pretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran.
Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar
itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah
bahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat
yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita
tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan
oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri dari
kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu
merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu
merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah
kamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnya
rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted,"
termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam
hidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkin
malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita
miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali.
Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidak
begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan
yang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diri
yan mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada
waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia menempuh jalan yang keliru.

Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya"
tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut Ibn
Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang
tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang
mendapatkan murka dari Allah.

Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah
ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka,
dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga
mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]

Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban
"berwaktu" atas kaum beriman. [14] Yaitu, diwajibkan pada
waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh),
diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),
lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya
di malam hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu
ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,
kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,
lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dari
Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya
dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi
lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan
dan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita
menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,
[15] dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras
mendekati Tuhan.[16]

Kamis, 06 Mei 2010

akhlaq mulia

Berakhlaq Mulia
Wawan Darmansyah
| 10 Agustus 2009 | 04:50
461
4
Belum ada nilai.

Muslim yang benar selalu menampilkan budi yang baik, perangai yang lembut, perkataan yang lembut, perkataan yang halus dan ramah. Nabi manusia yang harus dijadikan panutan dan idola kaum muslimin telah banyak mencontohkan perbuatan perbuatan yang mulia diatas untuk menuntun umatnya.

Anas Radiyallahu ‘anhu, sahabat sekaligus pembantu setia nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam, mengatakan bahwa beliau merupakan manusia yang paling baik ahlaknya. Anas Radiyallahu ‘anhu menceritakan: “Aku telah membantu Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam selama sepuluh tahun .selama itu pula tak pernah sekalipun meluncur dari lisan beliau kepadaku kata “ah”dan beliau tak pernah megatakan untuk suatu yang kerjakan mengapa engkau lakukan hal itu ?”tidak pula untuk suatu yang aku kerjakan “mengapa kamu tidak melakukannya?” (HR: Muttafaq alaih).

sifat orang taqwa

Puncak prestasi manusia disisi Allah ialah taqwa, banyak sekali disebutkan karakteristik orang-orang beriman didalam Al-Qur’an, patut kita telaah dan kita kaji sebagai cermin dan keteladanan dalam mengisi kehidupan menuju kepada kesempurnaan. Sebelum Al-Qur’an menjelaskan tentang hukum syari’at dan seluk beluk kehidupan manusia, lebih dahulu telah disifatkan orang-orang yang dapat menerima kebenaran Al-Qur’an tersebut.Pada lembaran permulaan setelah Al-Fatihah, yaitu pada awal surat Al-Baqarah.

“Alif lam mim, kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah : 2).

Selanjutnya dijelaskan pada ayat berikutnya sifat-sifat orang yang bertaqwa tersebut, antara lain :

ALADZIINA YU’MINUUNA BIL GHAIBI ( yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib ).

Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.

Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh panca indera. Percaya kepada yang ghaib yaitu mengi’tikadkan adanya sesuatu yang “wujud” yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera, karena ada dalil yang menunjukan kepada adanya, seperti adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya – ( Tafsir Depag ).

Baik buruknya perilaku seseorang, amat tergantung tebal tipisnya iman kepada yang ghaib ini, semakin kuat imannya kepada yang ghaib akan semakin kuat dorongan untuk berbuat kebaikan. Mewakili sosok manusia taqwa yang penuh kejujuran dan tanggung jawab secara sempurna, seperti disebutkan dalam sebuah hadits :

“Ada tujuh golongan manusia istimewa disisi Allah kelak yang akan mendapatkan naungan kehormatan yang justru tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.

1. Imam yang ‘adil

2. Pemuda yang tumbuh berkembang dan senantiasa beribadah kepada Allah ta’ala

3. Seorang yang hatinya selalu tertambat pada masjid. ( Orang yang memperhatikan waktu-waktu shalat berjama’ah di masjid dan menjadikan masjid sebagai rumahnya yang kedua sesudah rumahnya ).

4. Dua orang yang berkasih sayang semata-mata karena Allah, baik ketika bertemu atau ketika berpisah.

5. Seorang laki-laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan yang cantik, namun ia menolak dengan mengatakan : “ Aku takut kepada Allah.”

6. Seorang yang bersedekah dirahasiakan, sehingga tidak diketahui oleh yang kiri apa yang dilakukan oleh yang kanannya.

7. Seorang yang berdzikir ingat kepada Allah sendirian sehingga berlinang air mata. (HR. Al-Bukhari dan Muslim ).

Contoh sosok manusia taqwa tersebut hanya ada pada manusia yang beriman kepada yang ghaib, meyakini dan mengamalkan kebenaran Al-Islam dan selalu merasa diawasi Allah yang disebut dengan Ihsan.

Sebaliknya menipisnya iman kepada yang ghaib akan semakin mudahnya manusia melakukan perbuatan tidak terpuji. Kontrol pengendali diri hanya mengandalkan kemampuan nalar tidak akan bisa lepas dari pengaruh nafsu, sedang nafsu cenderung kepada hal-hal yang negatif.

“(Nabi Yusuf berkata). “ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh ( Allah ) Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf : 53 )

Dalam ayat yang lain Allah berfirman :

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya setan ( yang menyesatkan) maka setan itulah yang akan menjadi teman yang akan selalu menyertainya.” (QS. Zukhruf :36).

Keserakahan dan kesewenang-wenangan yang ikut mewarnai peradaban hari ini lebih canggih lagi, karena didukung oleh intelektual dan material, kenakalan remaja, perkelahian antar pelajar ini juga merupakan bukti kelalaian orang tua dan guru yang hanya menitik beratkan kepada kecerdasan otak anak-anaknya dari pada mengisi jiwanya dengan aqidah dan keimanan kepada yang ghaib.

WA YUQIMUUNASH SHALAH, ( mereka adalah orang-orang yang menegakan shalat ).

Shalat menurut bahasa Arab artinya do’a. Menurut istilah syara’ ialah ibadah yang sudah dikenal, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. Mendirikan shalat ialah menunaikan dengan teratur dengan melengkapi syarat syarat rukun dan adabnya, baik yang lahir maupun yang bathin seperti khusyu’. Memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya. (Terjemah Al-Qur’an Depag).

Ibnu ‘Abbas berkata : “Iqomatus shalah yaitu menyempurnakan ruku, sujud, bacaan dan khusyu’ (Tafsir Ibnu Katsir ).

Seperti yang kita imani bahwa shalat merupakan tiang agama tidak menegakkanya berarti merobohkan agama. Shalat menopang azas keislaman, secara vertikal shalat mengukuhkan hubungan seorang hamba dengan penciptanya sekaligus memiliki nilai khusyu’ disisi Allah dan manfaat yang tidak ternilai bagi kemerdekaan jiwa yang mampu menahan diri dari keji (kedurhakaan) dan kemungkaran.

Allah berfirman :

“Sesungguhnya shalat itu mencegah ( perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat (shalat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al-Ankabut : 45)

Islam menekankan agar shalat dilakukan dengan berjama’ah dan mewajibkan shalat jum’at pada tiap-tiap pekan dengan berjama’ah menurut cara tertentu.

Adalah shalat berjama’ah itu melahirkan persatuan, kecintaan dan persaudaraan sesama kaum muslimin dan menjadikan mereka satu bangunan yang bersusun kuat. Ketika mereka berkumpul (shalat berjama’ah) dengan khusyu’ bagi Allah semata-mata. Mereka, ruku’ dan sujud bersama-sama, terpadulah hati mereka dan tumbuhlah pada diri mereka rasa persaudaraan antara sesama mereka.

Shalat berjama’ah itu melatih mereka untuk mematuhi seorang imam yang dipilih diantara mereka, mendidik mereka diatas ketertiban, disiplin dan menjaga waktu. Menciptakan sifat tolong menolong, berkasih sayang, persaman dan kerukunan dikalangan mereka.

(Prinsip-prinsip Islam : Abul A’la Maududi ).

WA MIMMA RAZAQNAAHUM YUNFIQUN. (Dari apa yang Kami rizkikan mereka infakkan).

Ibnu ‘Abbas berkata : “Zakat harta”

Qatadah berkata :” Belanjakan apa yang diberikan Allah kepadamu ( di jalan Allah ) sebab harta kekayaan hanya titipan sementara padamu dan tidak lama akan berpisah.”

Seringkali Allah menggandengkan perintah shalat dengan zakat dan infak, sebab shalat ibadah yang meliputi tauhid, pujian dan do’a serta penyerahan diri kepada Allah, sedang infak berupa uluran tangan dan budi baik kepada sesama manusia. Infak disini meliputi semuanya yang wajib maupun yang sunat. (Ibnu Katsir ).

Orang-orang yang menafkahkan hartanya disebut al-munfikin ( orang yang bertaqwa ).” Yaitu orang-orang yang menafkahkan ( hartanya ) baik diwaktu lapang maupun sempit.” (QS. Ali-Imran : 134 ).

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang-orang miskin yang meminta dan orang-orang miskin yang tidak mendapatkan bagian ( tidak meminta ).” (QS. Adz-Dzariat : 156 ).

Sifat orang-orang yang bertaqwa yang ketiga ini membentuk manusia yang memiliki kepekaan sosial dan ukhuwah Islamiyah yang tinggi, sekaligus mengikis individualistis produk materialisme yang hanya mementingkan diri sendiri. Monopoli ekonomi, exploitasi terhadap sesama dalam setiap kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

WALADZIINA YU’MINUUNA BIMAA UNZILA ILAIKA WA MAA UNZILA MINQABLIKA. (Orang-orang yang beriman kepada Al-Kitab).

“Dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu ( yakni Al-Qur’an ) dan kepada apa yang diturunkan dari sebelum kamu (yakni Zabur, Taurat dan Injil). (QS. Al-Baqarah : 4 )

Apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an.

“(Al-Qur’an ) ini adalah Al-Kitab yang tdak mengundang keraguan (pasti) didalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah :2).

Pada ayat yang lain Allah berfirman :

“Hai manusia telah datang kepadamu nasehat ( tuntunan ) dari ( Allah ) Tuhanmu dan obat penyembuh dari berbagai penyakit dalam dada dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yunus : 57 )

Dengan penjelasan ayat-ayat tersebut maka jelas derap dinamika kehidupan manusia dengan segudang permasalahan yang sangat komplek justru sangat memerlukan bimbingan dan petunjuk wahyu. Sikap orang-orang beriman yang bertaqwa tidak diragukan lagi akan menjadaikan Al-Qur’an sebagai pedoman yang menempatkannya pada skala prioritas terdepan sebagai pemandu jalan hidupnya sampai ke surga kelak. Dalam hal ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga hawa nafsumu tunduk kepada apa yang aku bawa.” ( Al-Qur’an).” ( HR. Al-Hakim ).

“Al-Qur’an itu penolong yang diperkenankan pertolongannya dan pembela yang dibenarkan pembelaannya. Barangsiapa menjadikan Al-Qur’an di depan ( sebagai pedoman ) dia akan menuntun kedalam surga dan barangsiapa menjadikan Al-Qur’an dibelakang, maka ia akan menyeret ke dalam neraka.” (HR. Ibnu Hibban dan Baihaqi dengan sanad yang baik ).

WABIL AKHIRATIHUM YUUQINUUN. ( Dan terhadap hari akhir (kiamat) mereka iman (yakin).

Sudah menjadi kepastian dari Allah bahwa alam ini akan berakhir, kiamat pasti terjadi. Ini keyakinan orang yang beriman yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak mungkin menjadi seorang mukmin (taqwa) tanpa iman kepada hari akhirat. Bahkan keingkaran seseorang kepada hari akhirat menjatuhkan dia dari derajat manusia kepada derajat binatang yang paling rendah.

Analisa para ahli ilmu sepakat bahwa alam ini tidak kekal. Semua kekuatan dan benda-benda yang ada didalamnya adalah terbatas, tidak boleh tidak satu ketika akan binasa. Para sarjana ilmu alam pun telah bulat pendapatnya, bahwa matahari suatu saat akan mati, dingin dan hilang cahanya. Keseimbangan daya tarik dan peredaran planet-planet pun akan lenyap.

Orang beriman meyakini bahwa akhirat itu lebih baik dari kehidupan di dunia ini.

“Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka. Kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.” (QS. Al-Gashiyah : 25-26).

ber akhlaq mulia

Sesungguhnya setiap shalat, kita selalu memohon kepada Allah untuk menjadi orang sholih. Bukankah ketika shalat kita membaca Ihdinashshiraathal mustaqim, shiraathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim waldhdhaaallin (Ya Allah tujukanlah kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalan yang pernah ditempuh oleh orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, dan bukan jalan orang-oarng yang Engkau benci dan jalan orang-orang sesat).

Para ahli tafsir menyebutkan, yang dimaksud dengan “orang-orang yang telah diberi nikmat” adalah para nabi, shiddiqin (orang-orang yang benar keimanannya), syuhada (orang-orang yang mati dalam membela agama Allah) dan shalihin (orang-orang yang sholih). Jadi, dalam surat Al Fatihah terkandung do’a menjadi orang sholih.

Kesalehan bisa diraih bukan sekedar dengan do’a tapi harus dibarengi dengan mujahadah (usaha yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan). Berikut akan dijelaskan ciri-ciri orang yang sholih, mudah-mudahan kita bisa melatih diri untuk mewujudkannya dalam diri kita. Ciri-cirinya sebagai berikut,

  • Salimul ‘Aqidah
    Salimul ‘aqidah artinya keimanan yang lurus atau kokoh. Aqidah atau keimanan kepada Allah merupakan fondasi bangunan keislaman. Apabila fondasi keimanan itu kuat, insya allah amaliah keseharian pun akan istiqamah (konsisten), tahan uji, dan handal.
    Keimanan itu sifatnya abstrak, karenanya, untuk mengetahui apakah iman itu kokoh ataukah masih rapuh, kita perlu mengetahui indikator atau tanda-tanda iman yang kokoh.
  • Memiliki muraqabatullah
    Orang yang memiliki keimanan yang kokoh merasakan Allah sangat dekat dengan dirinya, mengawasi seluruh ucap dan geraknya. Dengan demikian akan tumbuh dari dirinya perilaku yang lurus dan selalu mawas diri. Inilah yang disebut Muraqabatullah, yaitu kondisi psikis dimana kita meras ditatap, dilihat,dan diawasi Allah swt. kapan dan dimana pun berada. Adapun yang menjadi landasannya adalah:

    “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS. Qaaf 50:16)

    “Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempat. Dan tiada pembicaraan antar lima orang, melainkan Dia-lah yang keenam. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada, kemudian Dia akan memberitahuakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Mujadalah 58:7)

  • Dzikrullah
    Orang yang memiliki keimanan yang kokoh akan merasakan kerinduan yang sangat kuat kepada Allah. Bila kita selalu merindukan-Nya, Dia pun akan merindukan kita. Dzikrullah adalah ekspresi kerinduan kepada Allah swt.

    “Dan dzikirlah (ingatlah) Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah 62:10)

    “Karena itu, ingatlah kepada-Ku, niscaya aku akan mengingatmu pula. Dan bersyukurlah kepada-Ku, serta janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” (QS. Al-Baqarah 2:152).

    Allah swt. akan menyertai orang-orang yang selalu berdzikir/rindu kepada-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits qudsi berikut ini,

    “Aku adalah menurut persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Dan aku bersamanya ketika ia menyebut-Ku dalam dirinya, maka Aku menyebutnya dalam diri-Ku. Ketika ia menyebut-Ku ditengah-tengah sekelompok orang, mala aku menyebutnya ditengah-tengah kelompok orang yang lebih baik dari mereka (kelompok malaikat).” (HR. Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, At Tarmidzi, dan Ibnu Majah)

  • Meninggalkan syirik
    Syirik artinya meyakini ada kekuatan atau kekuasaan yang setaraf dengan kekuasaan, kebesaran, dan keagungan Allah swt. Orang yang memiliki keimanan yang kokoh akan memiliki loyalitas atau kesetiaan yang fokus kepada Allah swt., karenanya dia akan meninggalkan seluruh perbuatan syirik. Syirik diklasifikasikan sebagai dosa yang paling besar sebagaimana dijelaskan dalam keterangan berikut.

    “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa :48)

  • Rajin membaca, memahami, dan mengamalkan Al Qur’an
    Al Qur’am merupakan kitab suci yang merekam seluruh pesan-pesan Allah awt. Kita bisa menelaah apa saja yang Allas swt, sukai dan apa yang dimurkai-Nya. Orang yang memiliki iman yang kokoh akan berusaha membaca, memahami, dan mengamalkan apa yang ada dalam Al Qur’an.
    “Ini adalah sebuah kitab yang Kami (Allah) turunkan kepadamu, yang didalamnya penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya, dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang mau menggunkan akalnya.” (QS. Shaad 38:29).
  • Shahihul ‘Ibadah
    Karakter orang sholih berikutnya adalah shahihul ibadah, artinya benar dan tekun dalam beribadah. Ibadah adalah ekspresi lahiriah pengabdian seorang hamba kepada Allah swt. para ahli membagi ibadah pada dua bagian, yaitu Ibadah ‘Ammah dan Ibadah Khashshah.

    Ibadah ‘Ammah adalah seluruh ucapan dan perbuatan – baik tampak ataupun tidak tampak – yang diridhai dan dicintai Allah swt. Misalnya, mencari ilmu, mencari nafkah, hormat kepada orang tua, ramah pada tetangga, dan lain-lain. Ini semua disebut ibadah ‘ammah karena teknik pelaksanaanya tidak diatur secara detail tapi disesuaikan dengan tuntutan situasional.

    Sedangkan ibadah khashshah adalah ibadah yang teknik pelaksanaanya ditentukan atau diatur secara detail oleh Rasulullah saw. Musalnya ibadah shalat, haji, shaum, dan lain-lain. Kalau kita shalat, maka ruku, sujud, dan seluruh gerakan serta bacaanya harus mengikuti sunah Rasulullah saw. Kita tidak dibenarkan menambahi atau menguranginya karena shalat merupakan ibadah khashshah. Allah swt. membalas seluruh pengabdian kita sesuai dengan usaha dan kesungguhan yang kita lakukan. Makin rajin kita beribadah, Allah pun makin dekat dengan kita. Makin malas kita mengabdi, Allah pun makin menjauhi kita. Karena itulah orang-orang sholih akan rajin, tekun, dan khusu dalam beribadah kepada-Nya. Perhatikan keterangan berikut.

    “Jika ia manusia bertaqarrub (beribadah) kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta. Jika ia berataqarrub kepada-Ku satu hasta, maka Aku mendekat kepada-Nya satu depa. Dan apabila ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari.” (HR. Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, At Tarmidzi, dan Ibnu Majah).

  • Akhlaqul Karimah
    Orang sholih bukan hanya pandai mengabdikan dirinya kepada Allah swt. yang diekspresikannya dengan Aqidah Salimah dan Shahihul Ibadah seperti yang telah dijabarkan di atas, tapi orang sholih juga sangat santun dan perhatian kepada sesama manusia. Sikap ini dalam bahasa praktis disebut Akhlaqul Karimah, artinya berakhlak mulia dan santun kepada orang lain. Orang sholih akan memiliki akhlak berikut:

1. Tidak menghina dan zhalim (aniaya) kepada orang lain
“Seorang muslim adalah saudara bagi sesama muslim. Karena itu janganlah menganiayanya, jangan membiarkannya teraniaya, dan jangan menghinanya, taqwa tempatnya di sini! – sambil Beliau menunjuk dadanya tiga kali -. Alangkah besar dosanya menghina saudara sesama muslim. Setiap muslim haram menumpahkan darah sesama muslim, haram merampas hartanya, dan haram mencemarkan kehormatan dan nama baiknya,” (HR. Muslim, Jilid IV, No. 2193)
2. Tidak berprasangka buruk, tidak mencari-cari keburukan orang lain, tidak dengki, serta bersaing secara sehat
“Hindari prasangka buruk, karena dia berita paling bohong. Jangan saling mencari keburukan, jangan saling mengorek aib, jangan bersaing secara tidak sahat, jangan saling mendengki, jangan saling marah, dan jangan saling tidak peduli. Tetapi jadilah kamu semua bersaudara sebagai hamba-hamba Allah.” (HR. Muslim, jilid IV, No. 2119)
3. Bersikap ramah
“Janganlah kamu menganggap sepele (remeh) pada kebaikan, walaupun sekedar menampakkan wajah yang ramah saat bertemu saudaramu (sesungguhnya itu adalah kebaikan).” (HR. Muslim)

“Wajah yang ramah saat bertemu saudaramu, itu merupakan shadaqah.” (HR. Tirmidzi)

“Sejak masuk Islam, saya menyaksikan wajah Rasul selalu tersenyum ramah.” (HR. Bukhari dan Muslim)4. Berbicara santun dan menghargai orang lain
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (bijaksana) dan nasihat yang baik, serta berdiskusilah dengan cara yang baik…” (QS. An-Nahl 16:125)
5. Mendo’akan yang baik untuk orang lain.berusaha meringankan beban orang lain
“Sesungguhnya do’a seorang muslim yang dipanjatkan tanpa sepengetahuan orang yang dido’akan, pasti dikabulkan karena di atas kepalanya ada malaikat. Setiap kali orang itu mendo’akan kebaikan untuk orang lain, malaikat itu menyahutnya” “Amien!Mudah-mudahan Allah mengabulkan dan memberikan kebaikan yang sama kepadamu.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).
“Do’a yang paling cepat dikabulkan adalah do’a yang dipanjatkan tanpa sepengetahuan orang yang dido’akan.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)
6. Berusaha meringankan beban orang lain
“Siapa yang menolong kesusahan seorang muslim dari kesusahan-kesusahan dunia, pasti Allah akan menolongnya dari kesusahan-kesusahan akhirat. Siapa yang meringankan beban orang yang susah, niscaya Allah akan meringankan bebannya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah akan tutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama si hamba itu suka menolong orang lain.” (HR. Bukhari)
7. Berusaha mencintai orang lain dengan tulus tanpa meminta imbalan
Abu Hurairah ra, berkat: Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. berfirman pada hari kiamat: “Mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini akan Aku naungi (tolong) mereka, dimana tidak ada naungan (pertolongan) yang lainselain dari-Ku.” (HR. Muslim, jilid IV, No. 2197)
Kesimpulannya, setiap shalat kita mendo’a menjadi orang sholih. Kesholihan dapat kita raih bukan hanya denga do’a, tapi dengan melatih diri untuk mencapainya. Secara garis besar ada tiga tanda kesholihan, yaitu sholihul aqidah (mempunyai keimanan yang laurus dan kokoh), shalihul ibadah (rajin dan benar dalam beribadah), dan akhlaqul karimah (berakhlak mulia). Wallauhu a’lam.

kiat hidup bahagia

Jodoh, usia, karir dan keluarga adalah beberapa komponen penting dalam hidup yang harus kita perhatikan. Pasalnya jika salah satu dari komponen tersebut terganggu, secara tidak langsung hidup kita pun tak semulus dalam angan. Tentu saja hal baru akan hadir dalam pengalaman kita akan pahitnya hidup. Jangan biarkan hidup Anda berantakan karena faktor-faktor yang mengganggu. Simak juga tips berikut ini:1. Harapan yang realistisAnda harus mempunyai harapan yang realistis. Berangan boleh saja tapi jangan terlalu tinggi, bisa-bisa Anda terjatuh. Berpikirlah secara positif tentang hal-hal yang memungkinkan Anda raih. Ada bagusnya Anda membuat rencana kedepan yang lebih baik.2. Usia terus bertambah, jangan panikBertambahnya usia, tentunya merupakan hal yang wajar. Jangan jadikan hal tersebut sebagai ketakutan terbesar Anda. Kebanyakan wanita sering panik dengan bertambahnya usia. Penampilan, jangkauan karir dan jodoh menjadi pemikiran mereka. Jangan membuat diri Anda tertekan dengan hal itu. Kendati Anda berpikir dengan keras sekalipun, Anda tak mungkin kembali muda. Terimalah kedewasaan Anda dengan cara yang lebih positif. Renungkan apa saja yang telah Anda lakukan dan buat perbaikan. Jadikan usia tolak ukur agar Anda melangkah dengan pasti.3. Jangan mengukur kesuksesan dari materiIni yang patut Anda ingat. Kesuksesan bukan didasarkan atas materi. Besar kecilnya materi yang Anda dapatkan dari suatu pekerjaan bukanlah tolak ukur yang bisa Anda pegang. Bukan akan lebih menyenangkan jika kita bisa menggeluti pekerjaan sesuai dengan bidang yang kita kuasai dan sukai. Sama halnya dengan jodoh. Akan lebih indah jika kita bisa menikah dengan pria yang kita cintai ketimbang pria kaya pilihan orang tua kita. Dengan demikian setiap orang memiliki standar sukses tersendiri. Tentukan standar kesuksesan Anda.4. Pekerjaan adalah panggilan jiwaSuata hal akan terasa menyebalkan jika kita anggap sebagai beban. Lakukan pekerjaan yang Anda hadapi sebagai suatu panggilan jiwa. Yakinilah bahwa semua yang kita lakukan adalah suatu bentuk tanggung jawab yang hanya bisa dipecahkan oleh Anda. Jangan pernah merasa terbebani sedikitpun.5. BerdoaAnda memiliki pegangan hidup? Dalam artian adalah sebuah keyakinan atau biasa disebut agama. Tentunya seluruh umat manusia haruslah memiliki pegangan hidup. Banyaklah berdoa dan meminta kedamaian.6. Murah senyum dan jangan pelit tertawaAwali hari Anda dengan senyum. Penelitian membuktikan bahwa senyum bisa membuat Anda lebih terlihat ceria dan awet muda. Jangan tahan diri Anda untuk tertawa dan bergurau dengan teman-teman Anda. Dengan senyum aura kecantikan Anda bisa lebih terlihat jelas. Siapa tahu juga bisamendatangkan jodoh yang lancar.7. Beradaptasi dengan perubahanJangan pernah menutup diri dengan perubahan. Semua pasti akan berubah sesuai dengan perkembangan dan waktu yang tak pernah berhenti. Ada baiknya Anda meluangkan waktu untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi disekitar Anda. Menjadi orang yang cepat menerima suasana baru dan hal-hal baru tentunya akan sangat menarik.8. KetulusanPerkaya diri Anda dengan ketulusan. Cobalah untuk melakukan segala hal dengan sikap dan hati yang tulus. Kemudian sebarkan ketulusan Anda pada teman-teman terdekat Anda. Niscaya Anda akan semakin banyak memperoleh teman.

Selasa, 04 Mei 2010

rasa minder

Tips Mengatasi Rasa MINDER


Pernahkah kamu terjangkit rasa minder merasa diri kamu buruk dan tidak lebih baik dibanding orang lain? Rasa minder merupakan kebalikan dari rasa percaya diri.. Dan seringkali menghambat kamu untuk lebih maju. Bagaimanakah cara untuk menghilangkan rasa minder itu? Berikut beberapa cara yang bisa membantumu untuk mengatasinya…



Ubah sudut pandangmu…!

Percaya deh kalau rasa percaya diri itu bukan hanya datang dari wajah yang cantik atau tampan. kekayaan yang melimpah kepintaran ataupun status sosial yang tinggi. Rasa minder atau kurang percaya diri itu datang karena kita mungkin lebih memfokuskan diri pada sisi negatif atau kekurangan kita. Merasa diri nggak menarik dan mengabaikan kelebihan yang dimiliki. Takut terhadap penolakan atau cemooh orang terhadap apa yang kita lakukan. Padahal setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Cobalah sekarang kamu ubah sudut pandang mengenai dirimu.. dan fokuskan pada kelebihan yang kamu miliki.



Perluas wawasan dan pergaulan..!

Jangan hanya bersembunyi dibalik buku saja.. Selain perluas wawasan dengan membaca Banyak banyaklah mengupdate berbagai informasi biar kalau diajak ngobrol nyambung.. Perluas juga pergaulanmu. Sering bergaul dengan orang-orang yang nggak kaku dan selalu berpikir optimis juga bisa membawamu lebih percaya diri.



Tataplah..

Rileks saja ketika kamu berintekasi dengan oranglain. Meskipun kamu harus berhadapan dengan orang paling populer sekalipun. Tataplah mata lawan bicaramu. Jika kamu nggak bisa menatap matanya karena kalah dengan rasa rendah dirimu cobalah untuk menatap batang hidung lawan bicaramu. Orang tidak akan menyadari bedanya kalau kamu hanya menatap batang hidungnya saja. Nah jika kamu sudah lebih percaya diri mulailah untuk menatap mata lawan bicaramu. Latihlah terus agar kamu bisa mengalahkan rasa mindermu.



Bersyukur..

Kenapa bersyukur? Pada dasarnya orang yang suka merasa minderan lebih melihat ke “wah”-an orang lain. Sibuk membanding-bandingkan keberhasilan dan keunggulan oranglain dari dirinya. Padahal sejatinya setiap manusia memiliki kelebihan dan keunikan masing-masing. Orang yang minder biasanya cenderung lebih bisa menghargai oranglain dibanding menghargai dirinya sendri. Hargailah dirimu dan syukurilah apa yang Tuhan berikan padamu. Galilah potensimu dan yakinlah kalau kamu memiliki sesuatu yang dapat kamu banggakan.



Lebih aktif..

Kalau ibaratnya sebelumnya kamu hanya lebih suka menjadi penonton coba deh sekarang kamu menjadi pemeran.. Aktiflah diberbagai organisasi.. Perbesarlah peranmu diantara kawan-kawanmu. Misalnya menjadi panitia suatu acara mengikuti club ataupun komunitas.



Hidup cuma sekali.. Jangan sibukkan dirimu dengan rasa mindermu.. Hentikan rasa minder yang bisa menghalangimu menuju sukses.. Ambilah setiap kesempatan dalam hidupmu.. Yakinlah kalau kamu pasti bisa! (noe/noe)

berita rokok

Berhenti Merokok, Supporter Berperan
Selasa, 4 Mei 2010 | 14:36 WIB
shutterstock
Ilustrasi

JAKARTA, KOMPAS.com - Satu hal yang tak kalah penting dalam upaya berhenti merokok adalah peran para supporter. Karena kebanyakan para perokok adalah lelaki, dalam hal ini para perempuanlah yang mengambil peran penting dalam upaya ini.

"Termasuk anak-anak, utamanya anak perempuan. Merekalah yang biasanya menjadi penyemangat dalam upaya ini," jelas dr. Tribowo Tuahta Ginting Sp.KJ dalam talk show berjudul Peran Perempuan dalam Menanggulangi Masalah Rokok dalam Keluarga di Gedung Asma RSUP Persahabatan, Jakarta, Selasa (4/5/2010).

Tribowo pun menuturkan, memang tidak mudah membuat para perokok mau berhenti begitu saja. Perlu ada kesabaran dan pendekatan penuh kasih sayang. Perlu disadari pula bahwa ada tahap-tahap yang memang harus dilalui.

"Jangan langsung disuruh dan dipaksa berhenti begitu saja," jelas dokter yang juga menjadi tim dalam Klinik Berhenti Merokok di RS Persahabatan ini.

Para perempuan atau istri dalam hal ini berperan penting menjadi pendukung upaya ini agar motivasi untuk berhenti merokok tetap terjaga. Jadi, peran mereka tak bisa dikatakan kecil, kata Tri.

Seperti pengalaman Helda Suhenda yang sudah 32 tahun merokok. Gara-gara istrinyalah dia mau berhenti merokok. "Saya bahkan sempat ditantang istri saya. Katanya, mau milih rokok atau saya. Kalau milih rokok lebih baik cerai," ujar pria tiga puluhan tahun ini.

Rupanya tantangan ini membuat Suhenda terpicu untuk berhenti. Sejak setahun lalu akhirnya dia bisa bebas dari keinginan untuk mengisap barang beracun ini.

Suhenda pun bercerita, setelah tak lagi merokok, dirinya sudah tak pernah batuk-batuk lagi di malam hari. Dia dan istri bisa tidur nyenyak karena tak lagi bertengkar gara-gara asap beracun ini.

Pengalaman serupa juga dialami Bunda Yvette, ibu kandung Bimbim, penggebug drum grup band SLANK. "Saya tidak pernah memarahi anak-anak saya, baik saat mereka masih menggunakan narkoba atau masih gemar merokok," jelasnya.

Yvette mengungkapkan, bahwa yang dibutuhkan anak-anak itu adalah perhatian. "Saya hanya memberi contoh bagaimana hidup sehat itu dijalankan. Mereka akhirnya dengan kesadaran sendiri mengikutinya," jelasnya.

Sekarang, memang masih ada beberapa anggota SLANK yang merokok, "Saya akan mengusahakan agar mereka juga berhenti merokok," tutur Bunda.

Terakhir Tribowo mengungkapkan bahwa apa pun kemajuan yang dicapai saat para perokok itu ingin berhenti harus selalu dihargai.

"Sebaiknya ibu-ibu tidak melakukan tindakan kasar dalam bentuk verbal atau fisik apalagi kalau yang dihadapi itu anak-anak kita," terang Tri.

irak

Al Qaeda Akui Bunuh Jenderal Irak
Selasa, 4 Mei 2010 | 02:46 WIB

BAGHDAD, KOMPAS.com - Al Qaeda mengklaim bertanggung jawab atas serangan-serangan bulan lalu yang menewaskan seorang pemimpin anti-teror Irak dan melukai seorang eksekutif stasiun televisi. Klain itu disampaikan dalam sebuah situs muslim garis keras, Senin (3/5).

Dalam sebuah pernyataan bertanggal 1 Mei, kelompok itu mengatakan, mereka melancarkan serangan pada 14 April yang menewaskan Jendral Arkan Ali Mohammed, perwira tinggi yang menangani pemberantasan terorisme, di Lapangan Nisur, Baghdad barat. Kelompok itu mengatakan bahwa sehari sebelumnya, gerilyawan Al Qaeda mendalangi pemasangan bom di mobil seorang eksekutif TV Omar Ibrahim Rasheed, yang meledakkan kakinya.

Rasheed (40), direktur hubungan masyarakat untuk televisi Rasheed dan seorang ayah empat anak, sedang berangkat ke tempat kerjanya ketika ledakan itu terjadi. Dua tetangganya, yang menumpang di mobilnya, dan enam orang yang sedang lewat juga terluka dalam serangan itu.

Al Qaeda telah mengklaim bertanggung jawab atas 23 serangan pada April, menurut pernyataan yang dipasang di situs jihadis Honein.

Data di kementerian-kementerian kesehatan, dalam negeri dan pertahanan menunjukkan bahwa 328 orang, 274 warga sipil, 39 polisi dan 15 prajurit, tewas dalam serangan-serangan pada April. Angka itu sedikit lebih kecil dibanding dengan 12 bulan lalu yang mencapai 355 orang.

Juga pada April, dua pemimpin tinggi Al-Qaeda tewas dalam serangan gabungan AS-Irak. Abu Omar al-Baghdadi, pemimpin politik Al Qaeda di Irak, dan Abu Ayub al-Masri, militan Mesir dan "menteri perang" kelompok itu, tewas dalam serangan gabungan tersebut.

Kekerasan turun secara dramatis di Irak sejak mencapai puncaknya antara 2005 dan 2007, namun serangan-serangan masih terus terjadi di Baghdad dan daerah lain. Hampir 400 orang tewas dan lebih dari 1.000 lain cedera tahun lalu dalam serangan-serangan bom terkoordinasi di sejumlah gedung pemerintah, termasuk kementerian-kementerian keuangan, luar negeri dan kehakiman pada Agustus, Oktober dan Desember.

Pemilihan umum pada 7 Maret tidak menghasilkan pemenang yang jelas dan bisa memperdalam perpecahan sektarian di Irak, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai peningkatan kekerasan ketika para politikus berusaha berebut posisi dalam pemerintah koalisi yang baru.

Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad. Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.

tips hidup bahagia

Apakah rahasia hidup yang bahagia itu? Banyak orang yang mengidentikkan kebahagiaan dengan segala sesuatu yang berada di luar kita, seperti harta benda yang kita miliki. Apakah Anda akan berbahagia jika mempunyai rumah yang indah, mobil mewah, penghasilan yang berlimpah, dan pasangan hidup dan anak-anak yang tampan dan cantik? Mungkin Anda akan mengatakan ”ya.” Tapi, percayalah itu tidak akan berlangsung lama. Kebahagiaan yang disebabkan hal-hal di luar kita adalah kebahagiaan semu. Kebahagiaan itu akan segera hilang begitu Anda berhasil memiliki barang tersebut. Anda melihat kawan Anda membeli mobil mewah, handphone yang canggih, atau sekadar baju baru. Anda begitu ingin memilikinya. Anehnya, begitu Anda berhasil memilikinya, rasa bahagia itu segera hilang. Anda merasa biasa-biasa saja. Bahkan, Anda mulai melirik orang lain yang memiliki barang yang lebih bagus lagi daripada yang Anda miliki. Anda kembali berangan-angan untuk memilikinya. Demikianlah seterusnya. Dan Anda tidak akan pernah bahagia.

Budha Gautama pernah mengatakan, ”Keinginan-keinginan yang ada pada manusia-lah yang seringkali menjauhkan manusia dari kebahagiaan.” Ia benar. Kebahagiaan adalah sebuah kondisi tanpa syarat. Anda tidak perlu memiliki apapun untuk berbahagia. Ini adalah sesuatu yang sudah Anda putuskan dari awal.

Coba katakan pada diri Anda sendiri, ”Saya sudah memilih untuk bahagia apapun yang akan terjadi.” Anda akan merasa bahagia walaupun tidak memiliki harta yang banyak, walaupun kondisi di luar tidak sesuai dengan keinginan Anda. Semua itu tidak akan mengganggu karena Anda tidak menempatkan kebahagiaan Anda disana. Kebahagiaan yang hakiki terletak di dalam diri Anda sendiri. Inti kebahagiaan ada pada pikiran Anda. Ubahlah cara Anda berpikir dan Anda akan segera mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman batin.

Saya mendapatkan gagasan mengenai tiga kunci kebahagiaan ini setelah merenungkan arti tasbih, tahmid dan takbir yang kita ucapkan tiap hari tapi sering tanpa makna yang mendalam.

Kunci pertama kebahagiaan adalah rela memaafkan. Coba renungkan kata subhanallah. Tuhanlah yang Maha Suci, sementara manusia adalah tempat kesalahan dan kealpaan. Kesempurnaan manusia justru terletak pada ketidaksempurnaannya. Dengan memahami konsep ini, hati Anda akan selalu terbuka untuk memaafkan orang lain. Seorang dokter terkenal Gerarld Jampolsky menemukan bahwa sebagian besar masalah yang kita hadapi dalam hidup bersumber dari ketidakmampuan kita untuk memaafkan orang lain. Ia bahkan mendirikan sebuah pusat penyembuhan terkemuka di Amerika yang hanya menggunakan satu metode tunggal yaitu, rela memaafkan!

Kunci kedua adalah bersyukur dan Ikhlas dalam berbuat. Coba renungkan kata alhamdulillah. Orang yang bahagia adalah orang yang senantiasa mengucapkan alhamdulillah dalam situasi apapun. Ini seperti cerita seorang petani miskin yang kehilangan kuda satu-satunya. Orang-orang di desanya amat prihatin terhadap kejadian itu, namun ia hanya mengatakan, alhamdulillah dengan penuh keikhlasan. Seminggu kemudian kuda tersebut kembali ke rumahnya sambil membawa serombongan kuda liar. Petani itu mendadak menjadi orang kaya. Orang-orang di desanya berduyun-duyun mengucapkan selamat kepadanya, namun ia hanya berkata, alhamdulillah.

Tak lama kemudian petani ini kembali mendapat musibah. Anaknya yang berusaha menjinakkan seekor kuda liar terjatuh sehingga patah kakinya. Orang-orang desa merasa amat prihatin, tapi sang petani hanya mengatakan, alhamdulillah dengan keikhlasan. Ternyata seminggu kemudian tentara masuk ke desa itu untuk mencari para pemuda untuk wajib militer. Semua pemuda diboyong keluar desa kecuali anak sang petani karena kakinya patah. Melihat hal itu si petani hanya berkata singkat, alhamdulillah.
Cerita itu sangat inspiratif karena dapat menunjukkan kepada kita bahwa apa yang kelihatannya baik, belum tentu baik. Sebaliknya, apa yang kelihatan buruk belum tentu buruk. Orang yang bersyukur tidak terganggu dengan apa yang ada di luar karena ia selalu menerima apa saja yang ia hadapi.

Kunci ketiga kebahagiaan adalah tidak membesar-besarkan hal-hal kecil. Coba renungkan kalimat Allahu akbar. Anda akan merasa bahwa hanya Tuhanlah yang Maha Besar dan banyak hal-hal yang kita pusingkan setiap hari sebenarnya adalah masalah-masalah kecil. Masalah-masalah ini bahkan tidak akan pernah kita ingat lagi satu tahun dari sekarang.

Penelitian mengenai stres menunjukkan adanya beberapa hal yang merupakan penyebab terbesar stres, seperti kematian orang yang kita cintai, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini bolehlah Anda anggap sebagai hal yang ”agak besar.” Tapi, bukankah hal-hal ini hanya kita alami sekali-sekali dan pada waktu-waktu tertentu? Kenyataannya, kebanyakan hal-hal yang kita pusingkan dalam hidup